Tentang kepercayaan akan adanya cerita itu, memang berakar kuat. Artinya, sulit untuk mencari orang yang bakal membantah bahwa kisah itu cuma dongeng. Karena peninggalan-peninggalan Jayaprana bertebaran di daerah bekas kerajaannya, kini Desa Kalianget, 23 km sebelah barat kota Singaraja. Di sini ada lesung (alat menumbuk padi) dari batu yang disebut warisan Jayaprana. Juga ada Taman (pemandian kerajaan) dan beberapa Pura warisan kerajaan. Dan yang membuat masyarakat Bali tak mungkin membantah kalau hikayat itu disebut dongeng, masih membekas diingatannya tentang peristiwa "Ngaben" di Desa Kalianget tahun 1957. Yang di-aben adalah Jayaprana sendiri, yang sebelumnya (lewat dukun) minta agar rohnya yang gentayangan di Teluk Terima, tempat ia terbunuh, diupacarai sebagaimana mayat orang Bali umumnya.
Pemda Buleleng
Walaupun demikian, toh sulit juga menemukan, kapan sebenarnya hikayat ini terjadi. Bagi Pemda Kabupaten Buleleng, nampaknya hal ini penting pula. Sudah mulai dijajagi, peninggalan warisan Jayaprana dan kuburannya di tengah hutan yang pemandangannya sangat molek, adalah modal besar untuk memikat turis. Kuburan Jayaprana yang terletak sekitar 80 km sebelah barat kota Singaraja (dari Gilimanuk sekitar 20 km), mulai dibanjiri pengunjung. Usaha menggairahkan arus turis di Bali Utara inilah alasan sebenarnya kenapa hikayat Jayaprana tiba-tiba dipandang perlu untuk disinggung sekarang. "Hikayat itu akan dicetak untuk bahan promosi dan dibagikan cuma-cuma kepada para pengunjung", berkata seorang pejabat di Singaraja.
Tidak berarti hikayat ini sebelumnya tak pernah ditulis. Seorang yang menamakan dirinya Putra -- konon nama samaran - mempopulerkan kisah ini lewat sebuah buku gaguntan (macapat) dengan Pupuh Cinada. Buku yang dilengkapi ilustrasi lukisan dan foto-foto upacara Ngaben di Kalianget ini mengantarkan cerita ini ke puncak populer. Tetapi, sebagaimana karya sastra daerah Bali lainnya, penyusun begitu mengagungkan keindahan semata, termasuk kegantengan dan kecantikan Jayaprana. "Padahal kisah itu mengandung nilai moral dan unsur pendidikan yang tinggi sekali", kata Jero Ketut, seorang pengemong Pura Jayaprana di Kalianget. Jero Ketut, 55 tahun, asal Kalianget konon punya "bukti" kebenaran kisah Jayaprana, kini berada di Desa Pujungan. Orang tua yang dihormati karena berfungsi sebagai balean (dukun) ini menuturkan kisah Jayaprana menurut versinya. Ternyata menarik karena beberapa segi tidak pernah diketahui masyarakat sebelumnya. Begini.
Senda Gurau
Jayaprana itu tidak dikenal asal usulnya. Siapa ayahnya, dari mana asalnya. Ia dipungut oleh Raja Kalianget ketika masih bocah. Saat itu ada daerah di wilayah kerajaan yang kena wabah penyakit. Jayaprana temlasuk korban wabah. Kedua orang tuanya meninggal. begitu pula kedua kakaknya. Jadi Jayaprana adalah anak nomor tiga, alias Nyoman.
Di Puri Kalianget banyak pula anak-anak pungut macam begini. Satu yang lain bernama Made Metri, seorang perempuan sebaya dengan Nyoman Jayaprana. Nyoman dan Made menjadi akrab dan merupakan anak pungut yang paling disayangi Raja. Konon Nyoman dan Made memiliki tingkat kecerdasan (IQ) tinggi. Ukurannya saat itu pandai menari dan tembang, juga tak pernah berdusta. Pasangan ini ternyata memendam pula rasa saling mencintai.
Suatu hari. ketika Nyoman dan Made menginjak usia sekitar 15 tahun. dengan maksud bersendagurau di sebuah taman, Raja menawarkan agar Nyoman dan Made kawin saja setelah dewasa. Jangan lagi cari pacar sendiri-sendiri. Made Metri tahu itu bergurau dan cepat saja menjawab: "tidak mau kawin dengan Jayaprana". Namun jawaban Made ini membingungkan Jayaprana dan ia menjadi gusar. Rupanya Nyoman tak tahu bahwa kata Metri diucapkan hanya karena bersendagurau. Karena itu selang berapa tahun kemudian, ketika secara resmi Raja menganjurkan agar Nyoman mencari pasangan hidup, ia lama merenung.
Karena ia ingat kata-kata Made dulu, Jayaprana memutuskan untuk mencari jodoh di luar Puri. Dan ia menemukan jodoh, namanya Nyoman Layonsari, anak Perbekel (Kepala Desa) Banjar Sekar. Ketika Jayaprana membawa surat lamaran resmi dari Raja, di sebuah sungai yang jadi batas Kalianget-Banjar Sekar, ia dihadang Metri. Di sinilah Metli mengutarakan isi hati sebenarnya, dan merelakan Nyoman direbut orang lain. Sebaliknya Jayaprana kaget. Tapi cepat ia menyebut alasan, ucapan Metri di hadapan Raja dulu adalah bukti wanita itu telah menolak cintanya. Metri marah. Ketika Jayaprana meninggalkan Metri di sungai, gadis ini terlanjur mengkutuk: "agar perkawinan Jayaprana dan Layonsari tidak berlangsung lama".
Arya Murka
Perkawinan Jayaprana dan Layonsri memang tak berlangsung lama. Ini akibat ulah Raja yang tiba-tiba saja jatuh cinta pada Layonsari. Lalu fitnah dari Patih Arya Murka yang menyebut Jayaprana melakukan pemerasan terhadap keluarga nelayan: Padahal Arya Murka takut wibawanya tersaingi oleh Jayaprana.
Bagaimana menyingkirkan Jayapran ? Itulah yang dibicarakan Raja dengan Arya Murka, suatu saat. Patih yang cerdnk ini punya akal lumayan. Jayaprana dikirim ke Teluk Terima, memimpin pasukan kerajaan. Di hutan ini didesas-desuskan ada "Wong Bajo" yang datang dengan perahu melakukan subversif. Selain 40 orang tentara, ikut serta Patih Saunggaling. Patih yang setia, taat, jujur dan dicintai rakyat ini, mengantongi sepucuk surat yang hanya boleh dibaca di tempat tujuan.
Akal bulus ini sesungguhnya ditentang oleh patih lain, Arya Sudharma namana. Sial, patih ini dimasukkan penjara. Maka kisah pun lancar sesuai dengan rencana. Di Teluk Terima, tidak ada "Wong Bajo", rakyat aman tenteram. Patih Saunggaling membaca surat Raja di hadapan tentara. Isinya mengagetkan semua orang: "Saunggaling diperintahkan untuk membunuh Jayaprana, di hutan itu. Jayaprana tidak boleh melawan Saunggaling mengadakan rapat dengan semua tentara termasuk Jayaprana, membahas nota politik Raja. Ada usul supaya berontak pada Raja. Ada usul melarikan diri. Bagi Saunggaling usul ini lebih baik. Dibandingkan ia pulang, tanpa melakukan tugas, ia berdosa karena tidak patuh pada Raja. Jika pula dengan menjalankan tugas. Iebih berdosa lagi, membunuh orang tak berdosa. Rapat larut malam di tengah hutan banyak keranya itu, tersendat-sendat. Untunglah Jayaprana punya jalan penyelesaian. Nyoman menyerahkan diri untuk dibunuh. Alasannya, supaya tidak menimbulkan kekacauan. Kepada rakyat, patih dan tentara dimintanya agar mengabarkan bahwa Nyoman mati dibunuh "Wong Baju". Dengan demikian "stabilitas nasional" baik-baik. Namun kepada yang hadir dalam rapat itu, Jayaprana mengungkapkan alasan lain, kenapa bersedia mati konyol. Yakni, Raja telah berjasa memungutnya, membesarkannya, dan kalau sekarang Raja menghendaki ia mati, itu hak Raja. Kepada Saunggaling, Nyoman berpesan untuk tidak segan memenuhi perintah Raja. Maka, matilah Jayaprana perlahan-perlahan di pangkuan Saunggaling, diiringi isak tangis. Konon monyetpun sedih.
Pemberotakan
Sialnya, harapan Nyoman agar stabilitas nasional tetap baik, menjadi sebaliknya. Made Metri punya ulah. Ia tahu akal Raja, ia sadar Jayaprana mati dibunuh. Maklum orang dalam. Dan tapi tiba-tiba Metri merasa berdosa. Apalagi ia hubungkan dengan kutukannya di sungai itu. Menebus dosa ini, Metri lalu mencuri kunci penjara. Ia keluarkan Patih Arya Sudharma, dan mengatakan bahwa sebenarnya tentara kerajaan banyak yang tidak bersimpati pada Raja lagi. Kelihatannya rakyat dan tentara tenang, tapi sebenarnya mereka menanti tokoh untuk menyulut sumbu pemberontakan.
Sementara itu Raja tidak berhasil membujuk Layonsari. Malah Layonsari bunuh diri. Berita bunuh diri ini diputar-balikkan oleh Metri. Kepada tentara yang bersimpati pada ahllarllum Jayaprana, Metri mengatakan: Raja membunuh Layonsari dan membunuh siapa saja yang diinginkannya. Pemberontakan terjadi. Demikian seru, demikian hebat. sampai dalam perang saudara itu semuanya terbunuh. Kerajaan lenyap. Begitu kisahnya.
"Barangkali karena semuanya mati, tidak ada yang segera menuliskan kisah ini di prasasti", begitu Jero Ketut menuturkan. Tapi Jero Ketut yakin kisah yang paling mendekati kebenaran ini disusun oleh keluarga Layonsari di Banjar Sekar, yang mengikuti gerak-gerik Raja tetapi tidak terlibat dalam perang. Mungkin saja. Dan memang keturunan saudara-saudara atau ibu Layonsari sampai sekarang ada. Dua orang kuliah di UNUD. tapi tak ambil pusing terhadap maksud Pemda Buleleng menuliskan cerita leluhurnya.
Kisah versi di atas ini memang lebih menarik dan baru. Dalam versi-versi sebelumnya dikenal Patih Saunggaling begitu bernafsu dan garang ketika membunuh Jayaprana. Barangkali disesuaikan dengan gaya teater tradisionil Bali di mana setiap pembunuhan mestilah ramai. Tapi, benarkah versi ini mendekati kebenaran?
By Putu Ria Agus Wirawan,SE
www.jawarakampung.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar